A.     Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan Negara hukum yang demokratis, ialah Negara yang melembagakan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sekaligus prinsip-prinsip Negara hukum dalam segala aspek kehidupan kenegaraan. Negara demokrasi berprinsipkan bahwa sumber legitimasi kekuasaan dalam Negara yang dijalankan oleh organ-organnya berasal dari rakyat, sehingga dengan demikian pemerintahan sejatinya berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. [1] Secara garis besar perwujudan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara dapat ditunjukkan dalam dua hal, yaitu dalam lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dan dalam bentuk konstitusi sebagai wujud perjanjian masyarakat[2].

Sementara Negara hukum menghendaki kekuasaan agar kekuasaan tertinggi dalam Negara adalah hukum.[3] Hukum adalah panglima, sehingga yang memerintah sejatinya adalah hukum dan bukan manusia (the rule of law and not of man). Secara konstitusional, penganutan konsep Negara hukum dan Negara yang berkedaulatan rakyat tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yaitu: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Syarat-syarat mendasar agar suatu negara dikatakan sebagai negara hukum yang demokratis (negara demokratis dibawah rule of law) dapat dilihat rumusannya pada hasil seminar International Commission of Jurists di Bangkok Tahun 1965, yaitu  sebagai berikut :[4]

1.     Perlindungan Konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi selain menjamin hak-hak individu harus menentukan juga cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin itu;

2.     Badan kehakiman yang bebas (independent dan impartial tribunals);

3.     Pemilihan umum yang bebas;

4.     Kebebasan untuk menyatakan pendapat;

5.     kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;

6.     pendidikan kewarganegaraan (civic education).

 

Hubungan antara kosepsi negara hukum dan negara domokrasi dalam negara modern ibarat dua sisi mata uang, menyatu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Negara demokrasi tanpa hukum akan menelma menjadi satuan anarkhisme, sementara negara hukum tanpa demokrasi akan menjelma menjadi negara yang tirani dan otoriter. Prinsip Negara negara hukum dan negara demokrasi memiliki satu tujuan yang selaras, yaitu terciptanya system penyelenggaraan negara yang bergerak atas aspirasi rakyat serta menjunjung tinggi supremasi hukum. Sebuah system penyelenggaraan negara yang memenuhi dimensi legitimasi dan legalitas.

Konsep negara hukum menempatkan konstitusi sebagai hukum dasar, hukum tertinggi. Sebagai hukum dasar, maka menjadi rujukan dan landasan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kedudukan tersebut, maka supremasinya harus selalu terjaga agar tidak terjadi deviasi (penyimpangan/pembelokan) dari setiap rumusan pasal-pasalnya yang didalamnya terkandung subtansi Politik Hukum.

Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum[5].

Agar konstitusi benar-benar menjadi hukum tertinggi, maka ketentuan-ketentuan dasar konstitusional yang menjadi materi muatannya harus dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi. Peraturan perundang-undangan, baik yang dibuat oleh legislatif maupun peraturan pelaksana yang dibuat oleh eksekutif tidak boleh bertentangan dengan konstitusi itu sendiri.

Guna menegakkan supremasi konstitusi tersebut, maka dibeberapa negara di dunia didirikanlah lembaga peradilan tata negara, dimana salah satu kewenangannya adalah menguji produk hukum legislative (lazim disebut wet (Bld), Act (Ingris/Usa) UU (Ind), atau nama lainnya) terhadap konstitusi. Dalam sistem hukum yang dianut di berbagai negara, kekuasaan yudikatif tersebut antara lain mempunyai wewenang mengawal dan menafsirkan konstitusi. Kekuasaan ini dijalankan oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang dapat berdiri sendiri terpisah dari MA atau dilekatkan menjadi bagian dari fungsi MA. Jika berdiri sendiri, lembaga itu sering disebut Mahkamah Konstitusi (MK)[6].

Pemikiran mengenai pentingnya suatu pengadilan konstitusi telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum kemerdekaan, yaitu pada saat pembahasan Hukum Dasar dalam siding BPUPKI yang kedua. Gagasan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin. Beliau berpendapat agar Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun demikian ide tersebut  ditolak oleh Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat tidak menganut paham trias politika, melainkan pembagian kekuasaan, dan kedua, karena jumlah sarjana hukum saat itu belum banyak, dan oleh karenanya pula tidak banyak ahli hukum yang mampu melakukan permohonan pengujian.

Dalam sejarah yang panjang tersebut akhirnya pada tahun 2001 (tahap perubahan ke-tiga) dicapailah kesepakatan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membentuk kelembagaan baru yang dinamakan Mahkamah Konstitusi. Rumusan pengaturan Mahkamah Konstitusi dalam UUD diatur dalam Pasal 24C ayat (1) s.d. (6). Sebagai pelaksanaan maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan lahirnya UU (tanggal 13 Agustus 2003) tersebut, maka secara kelembagaan Mahkamah Konstitusi dapat dibentuk sesuai dengan amanat Konstitusi sebelum tanggal 17 Agustus 2003).

Keberadaan UU tersebut memberikan diskursus baru terhadap wacana judicial review dan arah Politik Hukum yang hendak ditegakkan oleh Hakim Konstitusi berdasarkan UUD. Selaras dengan opini tersebut diatas, maka tentu saja merupakan hal menarik jika penulis mengelaborasi bagaimana Politik Hukum UU Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang.

 

B.     Perumusan Masalah

Berangkat dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana Politik Hukum UU Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi khususnya dalam Pengujian Undang-Undang ?.

 

C.     Pembahasan

1.      Politik Hukum Sebagai Kaidah Penuntun

Mahfud MD menyatakan “dapatlah dikatakan bahwa mempelajari hukum hanya sebagai pasal-pasal dan melepaskannya dari kajian tentang norma dan segi yang mempengaruhinya bias menyebabkan frustasi dan kecewa yang berkepanjangan. Lebih lanjut beliau menyatakan “oleh sebab itu studi tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dan hukum mempengaruhi politik yang kemudia mengkristal dalam Politik Hukum (legal policy) yang digariskan oleh negara menjadi sangat penting untuk dipelajari demi lmu hukum itu sendiri.[7] Hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, baik itu politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

Literature yang secara khusus membahas Politik Hukum di Indonesia tergolong langka. Tidak banyak ahli hukum yang konsen terhadap kajian ini, sehingga dengan demikian terdapat banyak kesulitan bagi para mahasiswa untuk memperdalam konsep-konsep mengenai Politik Hukum di Indonesia. Terlepas dari kondisi tersebut, banyak pakar hukum yang memberikan definisi mengenai Politik Hukum, diantaranya adalah:

Sartjipto Rahardjo, mengatakan poltik hukum sebagai aktivitas untuk menentukan satu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat[8]. Sementara itu Padmo Wahjono mengatakam bahwa politik hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakan hukum. Agak berbeda dengan pengertian diatas adalah pengertian Politik Hukum dari Mahfud MD, ia mengartikan Politik Hukum sebagai arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan untukmencapai tujuan negara.[9] Hukum harus ditempatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara.

Menurut Moh. Mahfud MD, terdapat dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum.[10] Pertama, kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Kedua, kaum realis mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ini berarti bahwa hukum mau tidak mau menjadi independent variable atas keadaan di luarnya, terutama keadaan politiknya. Di dalam kenyataan hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Dengan kata lain, kalimat-kalimat yang ada di dalam aturan hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan.

Untuk menjabarkan hukum ke dalam Politik Hukum, setiap negara harus berpijak pada system hukum yang dianutnya[11]. Setiap bangsa memiliki pandangan hidup dan ideologi masing-masing. Ideologi suatu negara akan memandu kemana arah tujuan negara dan pembangunan, termasuk didalamnya pengembangan sistem hukumnya. Dengan demikian sistem hukum suatu negara kemungkinan besar akan memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Hukum suatu bangsa bersifat “Bangsa Sentris” oleh karena itu wajar bilamana bangsa Indonesia mengajarkan “Sistem hukum pancasila” SHP untuk menggambarkan karateristiknya.[12] Politik Hukum di Indonesia dengan Sistem Hukum Pancasila-nya memberikan pemandu bagi pembentukan berbagai produk hukum di Indonesia. Dari uraian mengenai hubungan antara hukum dengan politik diatas, dapat diketahui bahwa terdapat aspek politik dalam setiap pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Setiap kehendak politik yang mencerminkan konfigurasi kekuatan Parpol dalam Parlemen, bagaimanapun dalilnya selalu harus satu nafas meskipun berbeda corak, yaitu, Politih Hukum yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.

Sebagai nilai dasar Pancasila memiliki sifat yang masih abstrak dan belum dapat dioperasionalkan tanpa perumusan lebih lanjut. Pertama-tama adalah tugas dari hukum dasar, yaitu Konstitusi untuk menampakkan nilai-nilai filosofis Pancasila sehingga memungkinkan dioperasionalkan guna menata Politik Hukum nasional. Dengan demikian dalam Undang-Undang Dasar ter-derivat-kan nilai-nilai Pancasila dalam nilai-nilai instrumental bagi penetaan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk sub sistem hukum.

Sejak datangnya era reformasi yang ditandai dengan peristiwa berhentinya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah terbuka peluang bagi dilakukannya reformasi konstitusi setelah mengalami fase “sakralisasi UUD 1945” selama pemerintahan Orde Baru. Dalam perkembangannya reformasi konstitusi menjadi salah satu tuntutan berbagai kalangan, termasuk para pakar/akademisi hukum tata negara dan kelompok mahasiswa, yang kemudian diwujudkan oleh MPR melalui empat kali perubahan (1999-2002).

Beberapa aspek yang terdapat dalam UUD 1945 yang menyebabkan konstitusi Indonesia ini tidak cukup mampu mendukung penyelenggaraan negara yang demokratis dan menegakkan hak asasi manusia, antara lain sebagai berikut.

1.   UUD 1945 terlampau sedikit jumlah pasal dan ayatnya, hanya terdiri dari 37 pasal sehingga belum/tidak mengatur berbagai hal mengenai penyelenggaraan negara dan kehidupan bangsa di dalamnya yang makin lama makin kompleks.

2.   UUD 1945 menganut paham Supremasi MPR yang menyebabkan tidak ada sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara.

3.   UUD 1945 memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden (executive heavy) sehingga peranan Presiden sangat besar dalam penyelenggaraan negara.

4.   Beberapa muatan dalam UUD 1945 mengandung potensi multitafsir yang membuka peluang penafsiran yang menguntungkan pihak penguasa.

5.   UUD 1945 sangat mempercayakan pelaksanaan UUD 1945 kepada semangat penyelenggara negara.

Dalam kerangka aspek-aspek tersebut akhirnya dihasilkan perubahan UUD sebanyak 4 kali, yaitu berturut-turut tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Dengan terjadinya perubahan UUD tersebut, maka bergeser pula arah Politik Hukum di Indonesia.

 

2.      Politik Hukum Kedudukan dan Kekuasaan Mahkamah Konstitusi

Perubahan ketiga UUD 1945 telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang kedaulatan rakyat dan supremasi tersebut telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi.[13] Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances)[14]. Jika sebelum perubahan manakala terjadi sengketa kewenangan antar lembaga tinggi negara, maka MPR sebagai lembaga negara tertinggi pemegang kedaulatan rakyat sekaligus penafsir konstitusi dapat menyelesaikan masalah tersebut. Namun setelah superioritas tersebut hilang, maka harus dicarikan institusi yang konstitusional guna menangani permaslahan hukum tersebut. Alternative yang muncul saat itu adalah, dibentuknya lembaga peradilan yang mandiri terlepas dari Mahkamah Agung. Dengan kondisi tersebut akhirnya pada Perubahan Ketiga UUD 1945 (dalam ST MPR 2001 tanggal 9 November 2001), kebutuhan akan lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi dapat diakomodasi lewat Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C. Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk MK.

Dalam Pasal 2 UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan, bahwa “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, Ia dijamin oleh konstitusi sebagai lembaga yang independent, bebas campur tangan dari kekuatan manapun. Prinsip Independensi dan Impartiality merupakan syarat pokok bagi pelaku kekuasaan kehakiman di negara hukum manapun. Tanpa prinsip tersebut, maka sama saja telah mereduksi salah satu prinsip negara hukum.

Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Ia sederajat dengan MPR, DPR, DPD, Presiden/Wapres, BPK, bahkan koleganya, Mahkamah Agung. Kesederajatan tersebut merupakan implikasi dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan negara dengan sistem check and balances. System ini terlembagakan setelah dicabutnya superioritas MPR yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dengan prinsip pembagian kekuasaanya yang vertical. Dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan negara dengan sistem check and balances membawa konsekuensi masing-masing lembaga meskipun sederajat, namun memiliki fungsi saling mengendalikan satu sama lain. Oleh karena itulah kekuasaan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat strategis guna menopang dan menunjang berjalannya system ketatanegaraan yang berlandaskan pada prinsip pemisahan kekuasaan.

Benarkah kedudukan Mahkamah Kostitusi sangat strategis dalam struktur ketatanegaraan RI. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama harus dimengerti bagaimana peran dan posisi Mahkamah Konstitusi dilihat dari sudut kewenangan yang dimilikinya. Berdasarkan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 (Perubahan Ke-III), Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban. Ketentuan tersebut dituangkan lebih lanjut dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:[15]

Pasal 10

(1)     Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a.    menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.    memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c.    memutus pembubaran partai politik; dan

d.    memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 

(2)   Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah  melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kewenangan pertama lazim dikenal dengan judicial review dalam bahasa Inggrisnya, atau Toetsingrecht dalam bahasa Belanda. Kewenangan dalam pengujian peraturan perundang-undangan sebenarnya bukanlah mutlak milik MK, melainkan juga oleh Mahkamah Agung, namun dengan objek pengujian yang berbeda. MK berwengan menguji UU terhadap UUD, sedangkan Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-undangan dibawah UU terhadap UU. Pembahasan lebih mendalam mengenai Hak Uji Materiil maupun formil MK akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab tersendiri.

Kewenangan dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara dilandasi oleh semangat pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances. Dengan dianutnya ajaran ini dalam UUD NRI Tahun 45, maka kewenagan MPR sebagai lembaga tertinggi pemegang kedaulatan rakyat dipreteli. MPR yang sebelumnya dikonstruksikan dapat mengatasi berbagai permasalahan konstitusionalitas, kini tidak memiliki lagi. Dengan kata lain sebelum amandemen, MPR sebagai penafsir Konstitusi dapat memberikan jalan keluar berupa Ketetapan MPR guna mengatasi persengketaan kewenangan konstitunionalitas antar lembaga-lembaga tinggi negara. Sehingga dengan demikian secara konstitusional tidak terdapat kemingkinan bagi terciptanya sengketa kewenangan antar lembaga tinggi negara.

Pelembagaan prinsip separation of power dengan check and balances tak pelak memberikan kemungkinan munculnya persengketaan dalam memaknai kewenangan masing-masing lembaga negara yang diberikan oleh konstitusi. Perbedaan penafsirasn dalam memaknai kewenangan yang telah diberikan konstitusi antar lembaga negara tak pelak akan memunculkan persengketaan. Ketiadaan lembaga yang memiliki superioritas  semisal MPR sebelum amandemen memunculkan pertanyaan, jika suatu ketika terjadi persengketaan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, maka lembaga apakah yang berwenang untuk menyelesaikannya.

Dalam negara hukum, maka penyelesaian sengketa kewenagan antara lembaga negara melalui lembaga peradilan adalah jalan yang sangat tepat, mengapa?, karena kedudukan lembaga peradilan dalam negara hukum selalu dilekatkan pada independensi, impartiality dan objectivity. Maka pemberian kewenangan pada peradilan konstitusi (MK) dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi adalah alternative yang paling logis guna menunjang pelambagaan prinsip pemisahan kekuasaan dengan check and balances system dalam system ketatanegaraan Republik Indonesia. [16]

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran Partai Politik merupakan perwujudan nilai-nilai negara hukum yang demokratis. Dalam negara demokrasi, setiap warga negara berhak untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat, termasuk juga dalam mendirikan Partai Politik. Namun demikian, dalam hal terdapat partai politik yang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatannya, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[17], maka tentu saja negara dapat membubarkannya demi perlindungan negara dan masyarakat umum. Praktek pembubaran dan pemaksaan fusi Parpol selama ini (pada masa oral dan orba) yang dijalankan oleh pemerintah sendiri cenderung dan syarat dengan kepentingan politik pengusasa, yang pada hakekatnya adalah pencideraan terhadap nilai-nilai Pancasila, demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Untuk menghindari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang tersebut, maka diperlukan pihak yang netral untuk memeriksa dan memutus apakah dakwaan/tuduhan pemerintah terhadap suatu Parpol benar-benar terbukti atau tidak. Pihak yang netral tersebut tidak lain adalah lembaga Peradilan. Mengapa MK dipilih untuk ini, karena perkara pembubaran Partai Politik merupakan permasalahan yang mendasar terkait dengan hak konstitusionalitas warga negara dalam berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat[18].

Kewenagan yang keempat MK (memutus perselisihan hasil Pemilu) terkait pula dengan upaya untuk melembagakan prinsip-prinsip demokrasi dalam negara hukum. Pelaksanaan Pemilu yang merupakan syarat pokok bagi tegaknya negara demokrasi selalu syarat dengan persengketaan, baik itu baerkaitan dengan proses pendaftaran, pelaksanaan kampanye, pencoblosan, maupun penetapan hasil pemilu. Penetapan hasil Pemilu merupakan hal yang amat krusial dalam tahapan Pemilu, karena didalamnya terdapat akibat hukum bagi tersusunnya komposisi dan konfigurasi kekuatan politik dalam lembaga perwakilan rakyat. Karena itu pula timbulnya sengketa dalam tahapan ini menjadi penting yang kemudian oleh Konstitusi diberikan jalan keluar guna menyelesaikan sengketanya, yaitu dengan penyelesaian sengketanya di Mahkamah Konstitusi.

Kewajiban Mahkamah Konstitusi dalam mengadili Presiden atas dakwaan DPR dilatarbelakangi oleh adanya penguatan sistem presidensiil. Mengapa perlu dikuatkan, karena system pemerintahan presidensiil sebelum amandemen cenderung mengambang, bahkan menurut para pakar HTN system presidensiil Indonesia merupakan system yang tidak murni atau quasi presidensiil. Dalam sistem presidensiil murni, Presiden mempunyai peran ganda, yaitu sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan[19]. Para Menteri berkedudukan sebagai pembantu Presiden, sehingga mereka diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada presiden. Kedudukan antara pemerintah dan DPR adalah seimbang. DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden dan membubarkan kabinet, sebaliknya juga Presiden berdasarkan konstitusi tidak dapat membubarkan Parlemen. Kendati Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh Parlemen, akan tetapi, jika Presiden ternyata terbukti telah melanggar hukum, melakukan perbuatan tercela (asusila) atau tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi, maka masih dimungkinkan adanya lembaga Impeacment (DPR – MPR) setelah sebelumnya diadili dan dinytakan bersalah dalam peradilan forum previlegiantum (oleh MK).

Hal yang melatarbelakangi pandangan terhadap betapa perlunya lembaga Impeacment dan forum previlegiantum secara bersama adalah setelah kasus pemakzulan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid atas dakwaan Bruneigate. Pemakzulan yang hanya didasarkan pada penyelidikan dan putusan politik bagi sebagian pakar hukum dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan. Betapapun Gusdur dapat dijatuhkan oleh MPR karena terbukti terlibat dalam kasus Bruneigate, namun secara hukum Ia tidak atau belum dapat dikatakan bersalah. MPR bukanlah lembaga peradilan, sehingga lembaga ini juga tidak memiliki otoritas untuk bertindak dan memutuskan sebagaimana pengadilan.

 Dengan kewenangan yang demikian, maka kedudukan MKRI menjadi amat penting dalam struktur ketatanegaraan RI. Maka dari itu dapatlah dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan sebagai lembaga negara pengawal konstitusi, lembaga negara penafsir konstitusi dan sebagai lembaga negara pengawal demokrasi.

 

3.      Politik Hukum Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi sebuah Tinjauan Singkat UU MK

a)      Judicial Review dan Sistem Pengujian Norma Hukum

Judicial review terdiri dari dua kata, yaitu: kata ”Judicial” yang menunjukkan makna Pengadilan dan kata ”Review”, berarti memandang, menilai, menguji kembali”. Secara sederhana judicial review  dapat diartikan sebagai ”hak untuk menguji oleh lembaga peradilan”. Dalam ranah Ilmu Hukum, Judicial review selalu berkaitan dengan hak menguji norma atau produk hukum tertulis yang dibentuk oleh negara. Judicial Review pada prinsipnya merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislative, eksekutif ataupun yudikatif. Dengan demikian penggunaan istilah Judicial review akan memberikan pembedaan makna antara Legislatif review (pengujian oleh lembaga legislatif) dan Executif /Adminitrasif  review (pengujian oleh lembaga eksekutif).

Dalam praktek dikenal tiga macam norma hukum yang dibentuk oleh negara yang dapat diuji melalui mekanisme judicial. Ketiga norma hukum tersebut adalah :

(1)  Produk atau norma hukum yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan;

(2)  Produk hukum yang dikategorikan sebagai keputusan atau beschikking (bersifat administratif, konkret, dan individual), pengujian produk hukum ini dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.

(3)  Produk hukum yang dibentuk oleh pengadilan (berupa putusan pengadilan, bersifat penghakiman), Pengujian produk hukum ini dilakukan melalui prosedur upaya hukum, baik upaya hukum biasa (Verzet, Banding dan Kasasi) maupun upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali).

Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang berwenang dan mengikat secara umum[20]. Peraturan perundang-undangan merupakan norma hukum yang bersifat mengatur (regelling) yang keberlakuaanya tidak bersifat individual (berlaku umum). Perturan perundang-undangan juga merupakan norma hukum yang bersifat abstrak, baru kemudian apabila diwujudkan dalam suatu keputusan (beschikking) atau putusan pengadilan (vonnis) akan menjadi norma hukum yang bersifat konkrit.

Istilah undang-undang dapat menunjukkan dua makna, yaitu: undang-undang dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materiil. Undang-undang dalam arti formil merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR bersama Presiden, atau yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Republik Indonesia. Sedangkan undang-undang dalam arti materiil adalah semua peraturan perundang-undangan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang berwenang. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan terdiri dari: 1). UUD 1945, 2). UU/Perpu, 3). Peraturan Pemerintah, 4). Peraturan Presiden, 5). Peraturan Daerah. Ketentuan dalam ayat (1) tentang jenis tersebut masih diperluas dengan ketentuan ayat (4), yang mengakui keberadaan peraturan-peraturan perundang-undangan lain, selain jenis peraturan sebagaimana diuraikan dalam ayat (1), misalnya Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan DPRD,dan lain sebagainya.[21]

Judicial Review terhadap peraturan perundang-perundangan sebagaimana diuraikan diatas dapat berupa uji materiil (pengujian terhadap isi peraturan) dan uji formil (pengujian terhadap prosedur pembentukan, format/bentuk peraturan). Kewenangan judicial review peraturan perudang-undangan diatas menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi diberikan kewenanagan untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Kewenangan judicial review pada dasarnya berfungsi untuk menjadikan bentangan Peraturan Perundang-undangan dan Keputusan yang harmoni, sinkron dan tertib (rechtsorde) antara jenis dan hierarki satu dengan yang lainnya. Artinya antara Grundnorm (Pancasila) General norm (Peraturan Perundang-undangan) dan concrete norm (keputusan) tetap berada pada tertib hukum, dalam arti tidak saling bertentangan.[22]

Pengujian yang dilakukan berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2003 terbatas pada pengujian apakah materi dan hal-hal diluar pengujian materiil[23]. Dalam pengujian selain pengujian materiil tercakup empat arti, yang pertama apakah bentuk peraturan perundang-undangan tersebut telah tepat atau belum, kedua apakah prosedur pembentukannya telah dilakukan secara tepat atau belum, yang ketiga, apakah lembaga pembentuk UU telah tepat atau belum, dan yang keempat adalah apakah format peraturan perundang-undangan tersebut telah tepat atau tidak. Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat dua jenis pengujian UU oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu: Pengujian Materiil dan Pengujian Formil Undang-Undang.

Sedangkan pengujian atas peraturan lain di bawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, diuji di Mahkamah Agung dengan berpedoman pada Perma No. 1 tahun 1999 tentang Gugatan Uji Materiil. Pengujian undang-undang saat ini lebih dikenal dengan istilah judicial review, walaupun pada prinsipnya istilah ini mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar tindakan pengujian seperti halnya yang diatur dalam Undang-undang Dasar dan UU No. 24 tahun 2003.

b)      Judicial Review UU Pentingkah ?

Setelah mengupas mengenai kedudukan judicial review dalam system pengujian norma hukum di Indonesia, maka pembahasan disini akan lebih ditekankan pada pengujian norma hukum Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dari optic Politik Hukum adalah, pentingkah judicial review terhadap UU itu ?. tentu saja untuk menjawab ini kita harus kembali pada teoritisasi mengenai negara hukum yang demokratis sebagaimana telah diuraikan pada bab pendahuluan. Disamping itu ajaran mengenai pemisahan kekuasaan dengan prinsip check and balances sebagaimana telah terlembagakan dalam UUD NRI Tahun 1945 juga tidak dapat dikesampingkan dalam tataran pengkajian secara yuridis.

Negara hukum yang demokratis menghendaki adanya jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, dan segala hal yang dapat menciderai Hak Asasi, termasuk juga atas tindakan penguasa yang sewenang-wenang. Pemerintah yang selalu memiliki kecenderungan untuk korup dan menindas, daalm negara hukum dikonstruksikan adanya limitation of power melalui pemisahan kekuasaan (separation of power) kedalam beberapa poros kekuasaan, baik itu eksekutif, legislative, yudikatif maupun kekuasaan lainnya. Dengan begitu kekuasaan dalam negara tidak akan menjadi tanpa batas (absolute).

Namun demikian pemisahan kekuasaan yang tanpa batas secara teoritis maupun praksis juga akan menimbulkan masalah, karena pemisahan masing-masing poros kekuasaan tersebut juga dapat menjadikan masing-masing poros kelembagaan bergerak tanpa control. Dengan ketiadaan control dalam menjalankan kekuasaan negara tersebut kemungkinan pula akan menjadikan pemerintahan yang korup. Dari itu dihadirkanlah model pemisahan kekuasaan yang bersistem check and balances, yang pertama kali dipraktekan di Amerika Serikat[24]. Dalam sistem check and balances lembaga-lembaga negara diakui sedrajat, namun dalam pelaksanaan kewenangannya, masing-masing lembaga saling mengawasi satu sama lain.

Bagaimana dengan Indonesia ?, setelah amandemen dilakukan terhadap UUD 1945, maka ada kecendrungan sistem yang digunakan dalam hubungan antar lembaga negara adalah faham pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances. Dalam sistem check and balances di Indonesia, lembaga-lembaga negara diakui sedrajat. Tidak ada lembaga negra yang sifatnya superior sebagaimana kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dulu. Lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR,  DPD, Presiden, BPK, MA dan MK memiliki kedudukan yang sederajat, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi dari yang lain, namun prinsipnya lembaga-lembaga Negara tersebut saling mengawasi dan mengendalikan satu sama lain. Inilah inti dari ajaran check and balances.

Menurut Jimly Asshiddiqie[25] dalam bukunya Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, beliau menyatakan

“jika sebelumnya UUD 1945 memang menganut faham pembagian kekuasaan, maka setelah perubahan keempat, prinsip pembagian kekuasan yang bersifat vertical itu tidak lagi dianut oleh UUD 1945. Sekarang, meskipun bukan dalam pengertian trias politica ala Montesquieu, UUD 1945 menganut paham pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances antar lembaga-lembaga Negara, buktinya adalah:

o      Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan presiden ke DPR, (bandingkan sebelum dan sesudah perubahan);

o      Dikenal sistem pengujian konstitusiona oleh MK;

o      Diakuinya lembaga pelaku kedaulatan rakyat yang tidak terbatas pada MPR;

o      MPR bukan lagi sebagai pemegang kedaulatan tertinngi rakyat;

o      Hubungan antar lembaga negara seimbang dan saling mengendalikan

 

Pengujian UU terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang sejajar dengan lembaga negara yang lainnya pada prinsipnya merupakan perwujudan dari prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan RI. Tugas pokok Mahkamah Konstitusi dalam kaitannya dengan judicial review adalah untuk menjaga agar UU yang merupakan produk politik tidak melanggar konstitusi, yang oleh karena itu juga dapat melanggar hak konstitusionalitas warga negara. Artinya keberadaan judicial review atas UU merupakan perwujudan check and balances dalam rangka menjaga keseimbangan antara produk politik DPR bersama dengan Presiden yang berujud UU dengan hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi oleh negara.

UU sebagai produk politik sangat mungkin isinya dapat melenceng jauh dari bintang pemandu (politik hukum) Indonesia yang telah digariskan dalam nilai-nilai Pancasila dan dijabarkan dalam UUD 45. Sangat mungkin suatu UU bertantangan dengan UUD, karena konfigurasi politik dalam parlemen memiliki kepentingan yang berbeda-beda, hiddes agenda, pesanan-pesanan Pasal dari kelompok tertentu, tekanan pihak asing, atau bahkan malah ketidakfahaman DPR dan Pemerintah sendiri dalam memaknai Politik Hukum Nasional.

Dalam memaknai seberapa pentingkah Pengujian UU terhadap UUD, perlu juga kita mendalami apa yang dijadikan alasan oleh Jhon Marshall sebagai Hakim Agung Amerika Serikat yang pertamakali didunia melalukan judicial review terhadap UU, yaitu Judiciary Act (1789) karena subtansinya bertentangan dengan konstitusi.[26] Pertama menurut Marshall, Hakim bersumpah menjunjung tinggi Kostitusi, sehingga jika ada peraturan yang bertentangan dengan konstitusi maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut. Kedua, konstitusi adalah the supreme of the land sehinggaharus ada peluang pengujian terhadap peraturan yang dibawahnya agar isi konstitusi tidak dilanggar. Ketiga, Hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada yang mengajukan Judicial Review permintaan tersebut harus dipenuhi.

c)      Legal Standing Pemohon dan Materi Permohonan

Objek pengujian dalam perkara pengujian Undang-Undang adalah produk hukum yang berupa Undang-Undang yang berlaku umum, sehingga oleh karenanya kepentingan yang termaktub didalamnya adalah kepentingan bersama. Oleh karenanya bentuk perkara dalam pengujian UU bukanlah gugatan yang menikberatkan pada sengketa, melainkan berbentuk permohonan. Karena itu pula subjek yang megajukan pengujian tidak disebut sebagai Penggugat, melainkan Pemohon.

Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:[27]

a.       perorangan warga negara Indonesia;

b.      kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai  dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c.       badan hukum  publik atau privat; atau

d.      lembaga negara.

Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa:

Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).[28] Konstruksi Pasal yang demikian menunjukkan bahwa tidak semua pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK memiliki legal standing  (Kedudukan hukum, Kapasitas hukum untuk menjadi pemohon) untuk mengajukan permohonan pengujian UU.

Dalam pada itu, untuk membuktikan apakah suatu pihak memiliki legal standing atau tidak maka ukurannya adalah: pertama : bahwa pemohon adalah salah satu pihak dari keempat subjek hukum diatas, kedua : bahwa subjek hukum dimaksud memiliki hak atau kewenangan-kewenangan sebagaimana diatur dalam UUD NRI 45, ketiga : bahwa hak atau kewenangan tersebut dilanggar/dirugikan atau berpotensi besar dirugikan oleh berlakunya UU yang dimohonkan, keempat :bahwa kerugian tersebut terdapat causal verband, dan kelima : kerugian konstitusional yang diderita memang dapat dipulihkan manakala permohonan dikabulkan.[29] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa didalam pengajuan permohonan pengujian UU terdapat asas ”point de etre Poit de Actio”, no interest no action” , tiada kepentingan, maka tiada suatu tindakan.

Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, bahwa terdapat 2 macam Pengujian Undang-Undang, yaitu: pengujian materiil dan pengujian formil. Dalam Pasal 53 ayat (3) dijelaskan:

Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a)      pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau

b)      materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalil dari permohonan dalam pengujian materiil berkaitan dengan apakah materi muatan UU dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Sedangkan dalil dalam pengujian formil menyangkut pembentukan UU terkait dengan yang pertama apakah bentuk peraturan perundang-undangan tersebut telah tepat atau belum, kedua apakah prosedur pembentukannya telah dilakukan secara tepat atau belum, yang ketiga, apakah lembaga pembentuk UU telah tepat atau belum, dan yang keempat adalah apakah format peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945.

d)      Asas Praduga Konstitusional dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Apa itu praduga konstitusional, tentu saja istilah tersebut belum terdapat dalam nomenklatur hukum. Asas Praduga konstitulional ini termaktub dalam Pasal 58 UU MK, sebagai berikut:

“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

 

Pasal ini mengandung makna bahwa setiap UU dianggap sesuai dengan kontitusi sebelum ada pembatalan atau putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Undang-Undang, Pasal-Pasal, atau bagian lain dari UU dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat. Walaupun nantinya suatu UU pada akhirnya dibatalkan (baca-tidak berkekuatan hukum), ia tetap dianggap sesuai konstitusi, baik dari subtansi, maupun dari segi prosedur pembentukan. Dengan begitu pelaksanaan UU tersebut tetap dapat berjalan meskipun terdapat pengajuan PUU. Kebijakan dalam pasal ini juga menyebabkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah atau pihak lain yang diberikan kewenangan oleh UU tetap dianggap berlaku dan memiliki kekuatan hukum sebelum putusan yang berisi pembatalan dibacakan. Politik Hukum Pasal 58 bertujuan melindungi setiap tindakan Pemerintah berdasarkan atas asas kepastian hukum.

 Setelah melalui pemeriksaan persidangan maka Majelis Hakim memberikan putusan yang isinya antara lain:

(1)    menyatakan permohonan tidak dapat diterima, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51.

(2)     menyatakan permohonan dikabulkan, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi harus dengan jelas menyatakan:

a.  materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian  mana dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

b. dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan dan menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(3)     menyatakan permohonan ditolak, apabila undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan,

Selanjutnya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung, dan terhadap  materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang  telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (Pasal 59 jo. Pasal 60).

Mengapa tidak terdapat ketentuan mengenai prosedur eksekusi dalam pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusidalam Pengujian Undang-Undang. Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat merujuk pada teori dalam Hukum Tata Negara khususnya berkaitan dengan Peradilan Konstitusi. Dalam pada itu terdapat toeri yang menyatakan bahwa Peradilan Konstitusi memiliki fungsi sebagai negativ legislator. Berbeda dengan Parlemen yang memiliki fungsi legislasi, yang secara teoritis disebut sebagai positiv legislator.

Sebagai positive legislator, Parlemen memiliki kewenangan untuk membentuk norma. Positive legislator menciptakan norma dalam bentuk produk hukum legislatif, misalnya UU, Wet, atau nomenklatur lain sesuai dengan bentuk dimasing-masing negara. Berbeda dengan negative legislator, kewenagan ini tidak menciptakan norma, melainkan meniadakan keberlakuan suatu norma. Artinya, jika sebelumnya telah berlaku suatu norma yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, maka dengan adanya Putusan MK yang membatalkan UU, maka putusan tersebut menyebabkan keberlakuan mengikatnya norma tersebut menjadi tidak ada lagi, atau norma tersebut dianggap tidak ada lagi. Dengan demikian Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memerlukan lagi upaya pelaksanaan/eksekusi.

 

 

 

 

D.    Penutup

1.      Politik Hukum di Indonesia dengan Sistem Hukum Pancasila-nya memberikan pemandu bagi pembentukan berbagai produk hukum di Indonesia. Sebagai nilai dasar Pancasila memiliki sifat yang masih abstrak dan belum dapat dioperasionalkan tanpa perumusan lebih lanjut dalam Konstitusi;

2.      Kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan RI merupakan perwujudan dari dianutnya sistem separation of power dengan check and balances.

3.      Judicial Review dalam pengertiannya secara luas tidak hanya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU terhadap UUD, melainkan pula dilakukan oleh MA dalam pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah UU terhadap UU, maupun oleh berbagai tingkatan peradilan dalam hal pengujian terhadap norma hukum yang berbentuk vonnis.

4.      Arti penting dilembagakannya judicial review dalam sistem ketatanegaraan RI adalah guna menopang azas negara hukum (supremasi konstitusi) dan negara demokrasi, karena pada prinsipnya UU merupakan produk pilitk yang syarat dengan berbagai kepentingan politk dari konfigurasi parpol dalam parlemen.

5.      Hukum Acara MK menganut asas ”no interest no action”, tanpa ada kepentingan, maka tidak dapat bertindak, artinya meskipun setiap warga negara, badan hukum, kesatuan masyarakat hukum adat, maupun lembaga negara memiliki hak untuk mengajukan pengujian UU, akan tetapi mereka harus memiliki Legal Standing terlebih dahulu.

6.      Dalam pengujian UU dianut asas praduga konstitusional dan fungsi MK sebagai negative legislator.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Daniel S. Lev, 1990, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta

Jimly Assiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpres

 

———, 2006, Sengketa Kewenagan antar Lembaga Negara, Konpres, Jakarta

 

———, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpres 2006

 

Miriam Budiarjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta

 

Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta

 

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama

Media, 1999

 

UUD NRI Tahun 1945

 

UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

 

UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

 


[1] Istilah demokrasi yang dimaknakan sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat diintrodusir oleh Presiden Lincon, seorang Presiden yang menjadi ikon bagi perjuangan demokrasi dan gerakan anti rasialisme dan perbudakan di Amerika Serikat. Ketokohan dan sepak terjang Lincon menjadi inspirasi bagi Presiden Barrack Obama, Presiden kulit hitam pertama di Amerika Srikat, sehingga berhasil menjadi orang nomor satu di AS mengalahkan pesaingnya dari Partai Republik yang berkulit putih. 

[2] Teori Perjanjian Masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Jhon Lock dan Rousso menjadi landansan teoritik bagi legitimasi produk hukum, apakah itu konstitusi atau produk legislative lainnya.

[3] Daniel S Lev dalam bukunya Hukum dan Politik di Indonesia, menyatakan bahwa dalam diskusi mengenai ideology hukum di Indonesia, terdapat tiga istilah untuk menyebutkan Negara hukum, yaitu : rechsstaats, rule of law dan Negara hukum itu sendiri.

[4] Dalam Miriam Budiarjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta

[5] Jimly Assiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Makalah, di unduh dari http://www.jimli.com/makalah

[6] Jimly Assiddiqie, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Bahan ceramah pada Pendidikan Sespati dan Sespim Polri, Bandung, 19 April 2008.

[7] Mahfud MD, 46, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, Bab Politik Hukum Pasa Amandemen, hal 48

[8] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, 2001, hal 39

[9] ibid, Mahfud MD, hal. 48

[10] Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), halaman 70-71.

[11]Mahfud MD, 46, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, Bab Politik Hukum Pasa Amandemen, hal 48

[12]  Hasil Seminar Hukum Nasional ke VI Tahun 1994, dikutip dari Prof. Dr. Barda Nawawi Arief dalam Bahan Kuliah Pembaharuan Hukum Nasional, Progam Doktor Ilmu Hukum Undip.

[13] Lihat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

[14] Jimly A, ibid.

[15] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98

[16] pelembagaan prinsip tersebut dapat terlihat sebagai berikut:

o   Kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR, namun demikian Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, bahkan kenyataan menunjukkan sebagian besar UU yang dibahas di DPR berasal dari Pemerintah;

o   Pembentukan UU harus mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah;

o   DPD juga diberikan kewenangan untuk ikut membahas UU dan mengajukan RUU (khusus sesuai kewenangannya), meskipun fungsi bikameralismenya yang diemban DPD masih dilemahkan oleh UU SUSDUK;

o   Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan;

o   Dalam kondisi kegentingan yang memaksa, Presiden dapat membentuk Perppu kekudukannya setingkat dengan UU, meskipun dalam persidangan yang berikutnya harus dibahas dalam DPR, apakah disetujui atau tidak menjadi UU;

o   DPR dan DPD (berkaitan dengan UU khusus) bertugas mengawasi jalannya pemerintahan;

o   Dianutnya sistem presidensiil murni mengakibatkan Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, begitu juga sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan Parlemen.

o   Namun demikian, dalam hal Presiden melakukan Tindak Pidana berat, Pengkhianatan terhadap negara maupun tindakan yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan tidak cakap lagi, maka Ia dapat diberhentikan memalui prosedur Impeachment oleh MPR atas usul DPR, dengan sebelumnya melewati pengadilan forum previlegiantium di Mahkamah Konstitusi;

o   Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenagan untuk menguji UU (produk hukum yang dibuat DPR) terhadap UUD 45 dan MA dapat menguji peraturan perundang-undanagan dibawah UU (produk hukum pemerintah (executive act) terhadap UU dan keduanya dapat menyatakan suatu peraturan tidak memiliki kekuatan hukum manakala permohonan pengujian dikabulkan; 

o   Presiden dapat membuat perjanjian dengan negara lain, akan tetapi agar perjajian tersebut berlaku sebagai hukum nasional, maka harus ditetapkan dengan UU (hanya khusus perjanjian tertentu),

o   dan lain sebagainya.

 

[17] Lihat Pasal 68 UU MK

[18] lihat Pasal 28 dan 28E UUD 45

[19] Jimly mengatakan bahwa dalam system Presidensiil sebenarnya tidak tepat lagi mendikotomikan peran Presiden antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, menurutnya Kepala Negara itu adalah konstitusi itu sendiri. Lihat dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, 2005, Sekjend dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta.

[20] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-   undangan.

[21] Jenis-jenis peraturan perundang-undangan tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No.10 Tahun 2004

[22] Penjenjangan peraturan perundang-undangan tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh stufenbao Theory yang dikenalkan oleh penganut Kelsenian

[23] Pasal 51 ayat (3) UU MK

[24] Sistem Check and Balances di Amerika Serikat terlihat sebagaimana diuraikan dibawah ini:

§     Presiden bukan anggota Kongres, tapi Ia dapat mengirimkan pesan kepada Kongres tentang rancangan undang-undang yang penting;

§     Presiden memiliki hak veto atas rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Kongres;

§     Hak veto dari Presiden atas suatu undang-undang dapat dibatalkan apabila terdapat dukungan 2/3 suara dari kedua kamar;

§     Undang-undang yang dibuat oleh Kongres dapat di uji oleh Mahkamah Agung dan menyatakan bahwa suatu Undang-Undang bertentangan dengan Konstitusi;

§     Dianutnya sistem presidensiil murni mengakibatkan Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, begitu juga sebaliknya Presiden juga tidak dapat membubarkan Parlemen.

§     Namun demikian, dalam hal Presiden melakukan Tindak Pidana berat, Pengkhianatan terhadap negara maupun tindakan yang bertentangan dengan norma kesusilaan, maka Ia dapat diberhentikan memalui prosedur Impeachment;

§     Hakim Agung diangkat oleh Presiden. Mereka menjabat seumur hidup, akan tetapi jika meraka terbukti melakukan kejahatan dan pengkhianatan terhadap negara, maka mereka dapat dipecat oleh Kongres;

§     Presiden dapat membuat perjanjian dengan negara lain, akan tetapi agar perjajian tersebut berlaku sebagai hukum nasional, maka harus diratifikasi dan mendapat dukungan Senat;

[25] Jimly Assidiqqie, 2006, Sengketa Kewenagan antar Lembaga Negara, Konpres, Jakarta.

[26] Mahfud MD, 2007 Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen, LP3ES, Jakarta, hal.96-97

[27] Pasal 51ayat (1) UU MK

[28] Pasal 51ayat (2) UU MK

 

[29] Jimly A, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpres 2006, hal.70, beberapa diantara pointnya dirumuskan sendiri dengan bahasa penulis.